Koperasi Merah Putih Dan Bayang-Bayang KUD : Belajar Dari Sejarah

 

BUMDes: Di Mana Posisi Mereka?

Bacaan Lainnya

 

Masalah lain yang tak kalah penting dalam euforia pembentukan Koperasi Merah Putih adalah nasib dan posisi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Sejak dilegalkan lewat Undang-Undang Desa tahun 2014, BUMDes telah menjadi simbol kemandirian ekonomi desa. Mereka dibentuk oleh desa, dikelola bersama oleh perangkat dan masyarakat, dengan mandat yang kuat: memanfaatkan potensi lokal secara kolektif demi kesejahteraan warga.

 

Dalam satu dekade terakhir, BUMDes telah tumbuh menjadi lembaga ekonomi yang relatif mapan — meski tentu masih menghadapi banyak tantangan. Dari unit usaha air bersih, persewaan alat pertanian, simpan pinjam, toko sembako, hingga pengelolaan pasar desa, BUMDes mencoba menjadi garda depan dalam membangkitkan ekonomi lokal berbasis aset desa.

 

Namun kini, hadirnya Koperasi Merah Putih memunculkan pertanyaan strategis yang belum dijawab secara terbuka: di mana posisi BUMDes dalam skema pembangunan ekonomi desa ke depan? Apakah ia akan tetap jadi aktor utama, atau justru pelan-pelan dikesampingkan oleh entitas baru yang didorong kuat dari pusat?

 

Lebih jauh, muncul potensi tumpang tindih kelembagaan. Bayangkan satu desa kecil — dengan sumber daya manusia terbatas — kini harus mengelola dua lembaga ekonomi sekaligus: BUMDes dan Koperasi Merah Putih. Keduanya berambisi membuka unit usaha simpan pinjam, toko sembako, dan pengelolaan hasil pertanian. Apakah mereka bersaing, atau bersinergi?

 

Di atas kertas, tentu sinergi adalah kata kunci. Dalam desain ideal, BUMDes dan koperasi bisa saling melengkapi:

 

• BUMDes bisa fokus membangun infrastruktur dasar: gudang komunal, alat transportasi, pasar desa, dan akses ke digitalisasi layanan.

 

• Koperasi bisa memfokuskan diri pada penguatan basis anggotanya: meningkatkan literasi keuangan warga, mengelola unit usaha kolektif, dan menjadikan desa sebagai komunitas ekonomi berbasis demokrasi partisipatif.

 

Namun dalam praktiknya, sinergi tidak mungkin terjadi tanpa desain kelembagaan yang jelas dan peta jalan yang terarah. Jika pembagian peran tidak diatur secara tegas, kompetisi tak sehat bisa terjadi. Terutama jika kedua lembaga ini menjadi kendaraan politik yang berbeda: satu dikelola oleh kepala desa dan perangkatnya, satu lagi oleh kelompok masyarakat atau elite lain yang punya relasi ke kementerian atau lembaga pendamping koperasi.

 

Apalagi, struktur sosial desa tidak pernah steril dari tarik-menarik kekuasaan. Dalam banyak kasus, BUMDes pun sudah mulai terdorong menjauh dari mandat kolektifnya karena terlalu dekat dengan kekuasaan lokal — menjelma menjadi “BUMDes kepala desa”, bukan BUMDes warga. Jika Koperasi Merah Putih tidak punya mekanisme partisipatif yang kuat, ia bisa jatuh ke lubang yang sama: jadi alat baru bagi kekuasaan lokal, bukan sarana emansipasi warga.

 

Ketiadaan koordinasi antar lembaga desa juga bisa memunculkan beban administratif tambahan: laporan dobel, konflik keuangan, tumpang tindih perizinan, hingga perebutan aset desa yang dikelola dua lembaga berbeda.

 

Pemerintah pusat dan daerah harus segera menjawab dilema ini, bukan menundanya hingga konflik terjadi di lapangan. Diperlukan:

 

• Kebijakan integratif yang mengatur hubungan kelembagaan antara BUMDes dan koperasi di tingkat desa.

 

• Panduan teknis yang menjelaskan pembagian peran dan model sinergi yang bisa diterapkan sesuai konteks sosial desa.

 

• Fasilitasi forum musyawarah desa sebagai ruang perundingan antara pengurus BUMDes, koperasi, perangkat desa, dan warga — agar tidak terjadi dominasi satu lembaga atas yang lain.

 

Tanpa langkah-langkah ini, BUMDes dan Koperasi Merah Putih justru bisa saling menggerus, bukannya saling menopang. Bukan tidak mungkin, dua lembaga yang sama-sama punya cita-cita mulia itu justru menjadi kompetitor yang saling menjatuhkan, mengulangi pola konflik antar institusi desa yang dulu pernah terjadi saat program-program pemerintah datang tanpa peta sosial yang memadai.

 

Jika itu yang terjadi, maka yang rugi bukan hanya lembaga, tetapi warga desa itu sendiri — yang seharusnya menjadi pemilik sah dari seluruh proses pembangunan ekonomi di desanya.

 

Saran: Menyemai, Bukan Menanam Paksa.

 

Jika pemerintah benar-benar ingin menjadikan koperasi sebagai kekuatan ekonomi rakyat, maka ia harus meninggalkan cara berpikir proyek yang instan dan seragam. Koperasi bukanlah produk, melainkan proses. Ia tidak bisa dipaksakan tumbuh dari atas, apalagi dalam tenggat waktu yang dibatasi logika anggaran. Sebaliknya, koperasi harus disemai dari bawah — dari tanah sosial yang hidup, dari kebutuhan yang nyata, dan dari relasi kepercayaan yang tumbuh di antara warga desa.

 

Budaya berkoperasi bukanlah hasil dari sosialisasi seminggu atau pelatihan tiga hari, melainkan hasil dari pendidikan panjang, pembiasaan, dan percontohan konkret yang menunjukkan manfaat bersama. Kita perlu mengingat kembali bahwa koperasi sejatinya adalah gerakan, bukan lembaga teknokratis belaka. Ia harus membentuk karakter kolektif, bukan sekadar struktur bisnis baru.

 

Berikut beberapa saran strategis yang dapat menjadi arah koreksi atas pendekatan yang terlalu tergesa:

 

1. Berikan Waktu dan Ruang untuk Pertumbuhan Alami

 

Tidak semua desa punya kesiapan sosial, kapasitas SDM, atau kebutuhan yang sama. Maka, hindari pendekatan seragam dalam pembentukan koperasi. Biarkan tiap desa menentukan waktu yang tepat, bentuk koperasi yang relevan, dan bidang usaha yang sesuai dengan potensi lokalnya. Pemerintah cukup memberikan dukungan fasilitatif, bukan paksaan administratif.

 

2. Dorong Integrasi Strategis dengan BUMDes

 

Jangan tempatkan koperasi sebagai pesaing BUMDes. Keduanya bisa menjadi dua kaki ekonomi desa yang berjalan berdampingan. Pemerintah perlu segera merumuskan skema regulasi yang menjelaskan batas peran, potensi kolaborasi, dan mekanisme sinergi antara keduanya. Misalnya, koperasi dapat memanfaatkan fasilitas BUMDes sebagai mitra distribusi, sedangkan BUMDes dapat mempercayakan pengelolaan unit usaha mikro ke koperasi.

 

3. Fokus pada Penguatan SDM Koperasi

 

Koperasi tidak akan sehat tanpa pengelola yang berintegritas dan cakap. Maka, pendidikan menjadi kunci utama. Pemerintah perlu berinvestasi dalam pelatihan manajemen koperasi, akuntansi partisipatif, kepemimpinan kolektif, dan mediasi konflik. Jangan biarkan koperasi hanya dikelola oleh “orang dekat” atau “pengurus titipan” yang tak paham prinsip koperasi. Koperasi itu mendidik, bukan mendadak — dan itu berlaku juga bagi pengurusnya.

 

4. Lindungi Koperasi dari Politisasi

 

Terlalu banyak koperasi yang mati muda karena dijadikan alat kampanye atau ditumpangi kepentingan elite lokal. Jika Koperasi Merah Putih hanya jadi etalase program atau pelengkap narasi politik pembangunan, maka nasibnya bisa lebih buruk dari KUD. Pemerintah perlu membuat mekanisme pengawasan independen dan mendorong keterlibatan warga secara aktif dan kritis, agar koperasi benar-benar milik bersama, bukan milik segelintir orang.

 

5. Hidupkan Semangat Gerakan, Bukan Sekadar Administrasi

Sudah saatnya koperasi dikembalikan pada roh awalnya sebagai gerakan rakyat. Bukan hanya laporan tahunan, bukan hanya rapat pengurus, tapi sebagai ruang belajar bersama tentang solidaritas ekonomi, demokrasi sehari-hari, dan keberdayaan kolektif. Koperasi harus menjadi tempat di mana warga belajar memutuskan bersama, mengambil tanggung jawab bersama, dan berbagi hasil bersama.

Penutup:

Koperasi Merah Putih menyimpan harapan besar bagi masa depan ekonomi desa — tetapi harapan itu tidak bisa digantungkan hanya pada modal besar dan instruksi pusat. Ia harus bertumbuh dalam kesabaran, dalam partisipasi warga, dan dalam proses pendidikan sosial yang berkelanjutan.

 

Mendirikan koperasi itu mudah. Tetapi membangun kesadaran berkoperasi adalah kerja lintas generasi. Dibutuhkan waktu, ketekunan, dan komitmen pada nilai-nilai gotong royong.

 

Seperti tanaman yang baik, koperasi hanya bisa tumbuh jika ditanam pada tanah sosial yang subur, disiram oleh partisipasi yang tulus, dan disinari oleh pendidikan yang membebaskan. Sebab sekali lagi:

koperasi itu mendidik, bukan mendadak.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *