Daniel Goleman menyebut ini sebagai *krisis emotional intelligence*: _kepemimpinan yang kering dari empati, tapi penuh dengan superioritas kognitif_.
Namun hari ini, tantangannya jauh lebih kompleks. Kita bukan hanya butuh empati, tapi juga kepekaan eksistensial—kemampuan untuk membaca makna hidup dalam penderitaan dan kegembiraan masyarakat. Di sinilah pentingnya *Fungsi Eksekutif Transendental*, yakni _fungsi eksekutif otak yang mengelola spiritualitas: bagaimana otak mengintegrasikan nilai, harapan, dan makna hidup ke dalam proses pengambilan keputusan_ (Taufiq Pasiak, 2022).
Manakala fungsi ini tumpul, maka yang lahir adalah pemimpin yang efisien tapi hampa—tajam dalam logika, tapi tumpul dalam makna.
Filsuf Martin Buber (1921) pernah menulis, “_All real living is meeting_.” Hidup yang sejati terjadi dalam perjumpaan antarmanusia, bukan dalam isolasi ide. Namun, manusia Fachidiot lebih sering hidup dalam ruang sempit pikirannya sendiri—dalam ruang sunyi tanpa pertemuan, tanpa sentuhan.
Dalam institusi yang ia pimpin, lahir keputusan-keputusan yang logis tapi menyakitkan. Ia bukan jahat. Ia hanya lupa menjadi manusia yang mendengar. Kalau dia beragama, mungkin saja ia rajin semua ritual, tapi ritual itu tak membumi menjadi perilaku. Ia beriman, tapi kering dalam berempati pada manusia.
Kita melihatnya di sekitar kita. Mereka yang dibentuk oleh sistem pendidikan yang menyanjung logika tapi melupakan empati. Yang terbiasa menjadi nomor satu dalam ranking, tapi gagal saat diminta mendengarkan keluhan staf kecil. Yang gemilang dalam konferensi, tapi tak punya waktu menengok sudut kampus yang sepi dan murung. Lalu ketika mereka duduk di kursi penting, kebijakan yang mereka ambil terasa asing—dingin dan penuh jarak.
Padahal, negeri ini tak bisa dipimpin hanya dengan sistem dan tabel. Ia butuh pemimpin yang juga paham isyarat lemah dalam diam. Yang mengerti makna lirih di balik kata “baik-baik saja.”
Ambil contoh penataan ulang sistem kesehatan, reformasi pendidikan dan kesehatan, kebijakan ketenagakerjaan, atau program penggusuran permukiman. Di atas kertas: efisien, rapi, hemat anggaran.
Namun, di lapangan: nakes seperti kehilangan arah, guru dan dosen limbung hadapi reformasi pendidikan, buruh panik karena skema kerja diubah sepihak, warga kehilangan rumah tanpa cukup komunikasi. Bukan karena niat jahat. Tapi karena keyakinan bahwa “tepat” pasti “beres.”
Inilah wajah Fachidiotentum hari ini: _teknokratik, efektif, tapi kehilangan kehangatan_. Mereka memimpin dengan kepala, tapi lupa bahwa masyarakat merasa dengan dada.
Pada titik ini, ingatan saya kembali pada istilah yang Buya tanamkan dua dekade lalu. Bukan untuk menuding siapa pun, tapi sebagai cermin. Bahwa secerdas apa pun kita dalam sistem dan regulasi, kalau kita gagal mendengar denyut di balik wajah-wajah yang mencoba bertahan, maka ilmu itu berubah menjadi alat penindas yang sunyi.
Kita bisa saja bicara tentang efisiensi dan audit di ruang rapat, tapi di pojok kampus, ada mahasiswa yang diam-diam menahan tangis karena ibunya harus menjual barang2 terakhir yang dimiliki demi membayar kuliah.
Kebijakan yang tidak menyentuh batin, hanya akan menjadi alat tekanan.
Tuan tuan, barangkali memang sudah saatnya kita meninjau ulang paradigma kepemimpinan—bukan hanya dari seberapa dalam ia menguasai satu disiplin, tapi sejauh mana ia mampu membaca kehidupan di luar dirinya. Kita tidak sedang kekurangan orang cerdas. Yang langka hari ini adalah mereka yang mau berhenti sejenak, menatap, dan benar-benar mendengar.
Sebab sistem yang hebat memang lahir dari kecerdasan. Tapi hanya kebijaksanaan yang sanggup membuatnya tetap manusiawi.(*)
*****
Penulis: Taufiq Fredrik Pasiak (Ilmuwan Otak, Dekan FK UPN Veteran Jakart)