Untuk penutupan akses jalan depan Rudis, lanjut Agung, jauh hari sebelum pelaksanan pesta telah terlebih dahulu dikoordinasikan dengan pihak terkait.
“Anggapan bahwa jalan Ahmad Yani di depan Rudis Wali Kota merupakan jalan nasional juga perlu kami luruskan. Memang sebelumnya jalan Ahmad Yani sempat masuk sebagai jalan dengan status jalan nasional, tapi status jalan ini telah disesuaikan melalui Keputusan Wali Kota Nomor 376 Tahun 2022 tentang Ruas-Ruas Jalan Menurut Statusnya Sebagai Jalan Kota, dan jalan Ahmad Yani dirubah statusnya menjadi jalan kota. Jika statusnya adalah jalan kota, maka aturan membolehkan untuk menggelar hajat keluarga, tentu dengan memperhatikan ketentuan yang ada. Mulai dari penyiapan akses jalan alternatif yang bebas hambatan, maupun penyediaan lahan parkir untuk mengantisipasi kemacetan. Ini sudah kami bahas bersama,” ucapnya.
Terkait jalan depan Rudis Wali Kota yang merupakan Kawasan Tertib lalu Lintas (KTL), dibenarkan oleh Agung. Menurutnya ketentuan mengenai inipun sudah dikaji terlebih dahulu oleh instansi terkait.
“Ada 2 hal yang dilarang di Kawasan Tertib Lalu Lintas. Pertama larangan berjualan di sepanjang jalur KTL, dan kedua larangan bagi kendaraan truk dan sejenisnya untuk melintas di jalur ini pada waktu tertentu. Jadi cukup jelas hal-hal yang dilarang atau tidak dibolehkan di KTL. Jalan depan Rudis Wali Kota juga adalah kawasan “Car Free Day” yang setiap akhir pekan akan ditutup untuk dimanfaatkan oleh masyarakat Kotamobagu untuk berolahraga,” ujar Agung.
Tudingan terhadap Pak Wali Kota yang dikatakan telah melanggar aturan dan masuk kategori “abuse of power” hanya karena menggelar pesta nikah anaknya, menurut Agung telah berlebihan dan sudah terlalu jauh masuk ke ranah personal.
“Sebenarnya sejak awal Pak Wali hanya akan melaksanakan pesta nikah anaknya di kediaman beliau di Boroko, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, dan sama sekali tidak berencana untuk menggelar resepsi pernikahan di Kotamobagu. Hanya saja atas permintaan dari tokoh-tokoh adat maupun tokoh masyarakat Kotamobagu agar pestanya juga digelar di Kotamobagu, akhirnya Pak Wali mengalah dan menyetujui untuk dilaksanakan di Kotamobagu. Rasanya agak berlebihan jika hanya karena menggelar pesta nikah anaknya, dan Pak Wali kemudian dikategorikan telah melakukan “abuse of power”,” pungkasnya.***