Kalimat itu bagai peluit panjang yang mengakhiri karir Hasyim di KPU. Tak hanya itu, DKPP juga meminta Presiden Joko Widodo untuk segera mengganti Hasyim dalam waktu tujuh hari. Waktunya singkat, tetapi cukup untuk mencari pengganti yang tidak hanya bisa bermain cantik tapi juga berperilaku baik.
Dalam kasus ini, DKPP tidak main-main. Mereka juga melibatkan Bawaslu untuk mengawasi pelaksanaan putusan. Ibarat tim VAR dalam sepak bola, Bawaslu harus memastikan tidak ada pelanggaran yang luput dari pengawasan.
Sidang dihadiri Hasyim secara daring. Meski hadir dari jauh, getaran ketegangan pasti terasa hingga ke ujung rambut. Dengan tegas, Heddy membuka sidang, “Dengan ini saya menyatakan dibuka, dan terbuka untuk umum.” Kalimat yang mungkin biasa terdengar, namun kali ini terasa berat bagi Hasyim.
Kasus ini bermula dari laporan LKBH-PPS FH UI dan LBH APIK yang menyebut Hasyim melanggar kode etik karena mementingkan kepentingan pribadi untuk memuaskan hasrat seksualnya kepada korban. Tuduhan ini bukan main-main, ibarat kartu merah langsung tanpa ampun di lapangan hijau.
Dalam dua kali persidangan, Hasyim menjalani proses panjang yang akhirnya berujung pada keputusan pemberhentian tetap. Sidang pertama digelar pada 22 Mei dan berakhir pukul 17.15 WIB, sedangkan sidang kedua pada 6 Juni selesai pada pukul 12.45 WIB. Waktu yang dihabiskan bukan untuk latihan atau strategi baru, tetapi untuk menjawab tuduhan yang merusak integritas.
Kejadian ini seharusnya menjadi pelajaran bagi semua pihak. Dalam dunia demokrasi, integritas dan etika harus dijaga sekuat tenaga. Sebagai penjaga demokrasi, para pejabat harus siap menerima konsekuensi jika melakukan pelanggaran.
Karena pada akhirnya, dalam pertandingan demokrasi yang sesungguhnya, hanya yang berintegritaslah yang layak menjadi pemenang. Jadi, mari kita dukung agar demokrasi tetap berjalan dengan sportif dan penuh integritas, tanpa drama yang tidak perlu.***